Friday, 26 June 2015

Ikhtisar Sederhana untukmu Jiwa Muda Bernama MAHASISWA



image source: adhiyonkou.blogspot.com
Mahasiswa, dari satu set seragam putih abu-abu ke setelan bebas khas kaum terpelajar. Mahasiswa, saat ini, mungkin baru saja genap beberapa bulan lalu kalian tanggalkan beragam atribut yang mencap dirimu sebagai siswa. Kalian ayunkan kaki-kaki kecil itu dengan gelora semangat membuncah di dada. Tidak ada siapapun yang bisa menandingi denyut semangat itu. Angan dan citamu dilambung tinggi saat itu. Saat itu?
Ya, saat itu.
Hai, apa kabar mahasiswa lama? Ada yang ingin kita utarakan kepada adik-adik kita yang berada di tengah euphoria menyandang status mahasiswanya?
Aku ada.  Tentu tiada maksud menggurui.
Sedari awal kalian menyongsong sebuah royal gate bernama Universitas, disambut dengan buhul-buhul selamat datang yang seakan menerbangkanmu ke nirwana. Tekadmu kuat saat itu. Tapi tidak ada yang lebih kuat daripada tekadmu untuk lulus sebagai seorang sarjana. Ah.. Sarjana..
Hal normatif ini membawaku pada segelintir kalimat yang menteri Indonesia pertama kita, Sutan Sjahrir ucapkan

“Sarjana dan Intelektual itu berbeda”

Sjahrir jelas memeta-metakan kata sarjana dan intelektual ke dalam kotak yang berbeda. Sarjana jelas menggunakan ilmunya hanya sebagai alat perkakas pengukir sebuah gelar di belakang nama. Ya, titel kesarjanaan. Ilmu pengetahuan tak lebih dari barang mati untuknya. Barang mati yang hanya akan hidup ketika sebuah lampu bernama “TUGAS” menyala berkedip-kedip.
Lalu bagaimana dengan intelektual?
Bagi manusia Sjahrir, yang diaminkan juga olehku, Intelektual yang hidup didirinya adalah pengetahuan-pengetahuan yang ia dapatkan. Ilmu pengetahuan adalah makanan sehari-hari. Semua itu ia dapatkan tidak hanya dengan membaca literatur spesialisasi bidangnya saja. Intelektual masih akan terus mengais-ngais ilmu pengetahuan demi memenuhi dahaganya akan hal tersebut.
Teruntukmu mahasiswa baru, menciptakan semangat adalah barang yang paling mudah didapatkan daripada mempertahankannya. Hari ini bisa saja setiap pagi kalian bangun 2 jam lebih awal sebelum berangkat ke kampus. Mempersiapkan beragam hal dari yang terkecil semacam kaus kaki apa yang akan digunakan ke kampus, buku-buku apa yang harus dibawa, sampai mempelajari materi-materi yang akan dosen cekoki nanti ketika di kelas.
Tapi kelak, rasa malas, bosan, jengah, dan kalimat bernada “lelah-dan-ingin-nikah-saja” adalah hal yang semakin ramah menjamah hari-harimu. Perlahan-lahan merampok semangatmu. Tanpa dipungkiri, pasti akan terjadi. Tapi berjanjilah untuk tidak mempersilahkan mereka bertamu ke dalam kehidupanmu terlalu lama sehingga lupa untuk apa dan karena siapa kalian ke sini.
Bila sarjana tidak pernah kalian rasa cukup, bila intelektualitas ingin kalian jajal lewat banyak pengalaman berorganisasi, bila kreatifitas kalian harus diverifikasi melalui ajang kompetisi, bila ingin aplikasikan tridharma perguruan tinggi melalui pengabdian, dan, bila menjadi seseorang yang tidak hanya sekedar menyandang gelar sarjana namun bila ditanya susunan kabinet kementrian Negara saja kau hanya bisa menggeleng dan berkilah “Sorry, gue anak eksak. Ga tau politik”
Kamu masih punya kesempatan.
Dik, semua bermuara pada pilihanmu,
Menjadi Intelektual cap sarjana
Atau Sarjana cap intelektual?

No comments:

Post a Comment