![]() |
image source: adhiyonkou.blogspot.com |
Mahasiswa, dari satu set seragam putih abu-abu
ke setelan bebas khas kaum terpelajar. Mahasiswa, saat ini, mungkin baru saja
genap beberapa bulan lalu kalian tanggalkan beragam atribut yang mencap dirimu
sebagai siswa. Kalian ayunkan kaki-kaki kecil itu dengan gelora semangat
membuncah di dada. Tidak ada siapapun yang bisa menandingi denyut semangat itu.
Angan dan citamu dilambung tinggi saat itu. Saat itu?
Ya, saat itu.
Hai, apa kabar mahasiswa lama? Ada yang ingin
kita utarakan kepada adik-adik kita yang berada di tengah euphoria menyandang
status mahasiswanya?
Aku ada. Tentu tiada maksud menggurui.
Sedari awal kalian menyongsong sebuah royal gate bernama Universitas, disambut
dengan buhul-buhul selamat datang yang seakan menerbangkanmu ke nirwana.
Tekadmu kuat saat itu. Tapi tidak ada yang lebih kuat daripada tekadmu untuk
lulus sebagai seorang sarjana. Ah.. Sarjana..
Hal normatif ini membawaku pada segelintir
kalimat yang menteri Indonesia pertama kita, Sutan Sjahrir ucapkan
“Sarjana dan
Intelektual itu berbeda”
Sjahrir jelas memeta-metakan kata sarjana dan
intelektual ke dalam kotak yang berbeda. Sarjana jelas menggunakan ilmunya
hanya sebagai alat perkakas pengukir sebuah gelar di belakang nama. Ya, titel
kesarjanaan. Ilmu pengetahuan tak lebih dari barang mati untuknya. Barang mati
yang hanya akan hidup ketika sebuah lampu bernama “TUGAS” menyala
berkedip-kedip.
Lalu bagaimana dengan intelektual?
Bagi manusia Sjahrir, yang diaminkan juga
olehku, Intelektual yang hidup didirinya adalah pengetahuan-pengetahuan yang ia
dapatkan. Ilmu pengetahuan adalah makanan sehari-hari. Semua itu ia dapatkan
tidak hanya dengan membaca literatur spesialisasi bidangnya saja. Intelektual
masih akan terus mengais-ngais ilmu pengetahuan demi memenuhi dahaganya akan
hal tersebut.
Teruntukmu mahasiswa baru, menciptakan semangat
adalah barang yang paling mudah didapatkan daripada mempertahankannya. Hari ini
bisa saja setiap pagi kalian bangun 2 jam lebih awal sebelum berangkat ke
kampus. Mempersiapkan beragam hal dari yang terkecil semacam kaus kaki apa yang
akan digunakan ke kampus, buku-buku apa yang harus dibawa, sampai mempelajari materi-materi
yang akan dosen cekoki nanti ketika di kelas.
Tapi kelak, rasa malas, bosan, jengah, dan
kalimat bernada “lelah-dan-ingin-nikah-saja” adalah hal yang semakin ramah
menjamah hari-harimu. Perlahan-lahan merampok semangatmu. Tanpa dipungkiri,
pasti akan terjadi. Tapi berjanjilah untuk tidak mempersilahkan mereka bertamu
ke dalam kehidupanmu terlalu lama sehingga lupa untuk apa dan karena siapa
kalian ke sini.
Bila sarjana tidak pernah kalian rasa cukup,
bila intelektualitas ingin kalian jajal lewat banyak pengalaman berorganisasi,
bila kreatifitas kalian harus diverifikasi melalui ajang kompetisi, bila ingin
aplikasikan tridharma perguruan tinggi melalui pengabdian, dan, bila menjadi
seseorang yang tidak hanya sekedar menyandang gelar sarjana namun bila ditanya
susunan kabinet kementrian Negara saja kau hanya bisa menggeleng dan berkilah
“Sorry, gue anak eksak. Ga tau politik”
Kamu masih punya kesempatan.
Dik, semua bermuara pada pilihanmu,
Menjadi Intelektual cap sarjana
Atau Sarjana cap intelektual?
No comments:
Post a Comment