Monday, 6 August 2012

Pengenalan Sex Education pada Kegiatan Pengajaran di Sekolah di Indonesia.




A:         “Waktu masih duduk di bangku SMA, pelajaran apa yang paling Lo suka? Yang paling favorit deh pokoknya!”
B:         “hmm apa yaaa.. Biologi lah pastinya!”
A:         “Hah? Kenapa jadi Biologi? Lo sempet pengen jadi dokter ya? atau scientist?ah.. tapi kan Lo kan anak IPS”
B:         “Hahaha, bukan kok, gue mah maunya jadi enterpreneur”
A:         “Loh? Terus?”
B:         “Siapa sih yang ga suka kalo ada pelajaran yang ngebahas sistem reproduksi? Hahaha”
A:         “...”

Dialog singkat di atas bukan hanya sekedar wacana yang bisa memancing senyum Anda semua ketika membacanya. Dialog ini sebenarnya sebuah percakapan yang pernah dialami sendiri oleh penulis dengan teman satu sekolahnya. Kejadian klise ini bisa dikatakan sebuah fenomena. Ya, fenomena sederhana yang patut untuk dijadikan bahan perhatian bagi Kita semua.
Kenapa bisa menjadi bahan perhatian?

Bagaimana bisa, alasan seseorang mencintai suatu mata pelajaran atas dasar suatu hal yang (masih) dianggap tabu? Seks. Dewasa ini, dunia seks dan sebangsanya masih menjadi barang langka dan keramat untuk dijadikan sebuah materi pembicaraan. Di lingkungan keluarga, lingkungan pergaulan, bahkan seringkali terjadi di lingkungan pendidikan.

Lingkungan keluarga, di mana seorang anak memperoleh pendidikan dasar yang tidak diajarkan di sekolah. Di mana orangtua, Ayah dan Ibu, menjadi suri tauladan dan ‘wali kelas’ si Anak dalam proses belajar di dalamnya. Memiliki banyak sendi-sendi pengajaran mengenai kehidupan yang nantinya akan diaplikasikan si Anak dalam menjalani kehidupan. Termasuk pengajaran tentang pendidikan seks. Anda mengernyitkan dahi? Penulis paham. Karena faktanya, tidak sedikit mereka para orangtua yang masih menyikapi hal ini dengan pola pikir tertutup. Kemudian ‘keingin-tahuan’ anak-anak mereka pun digantung. Sampai akhirnya ‘menggantung’ pada tempat yang salah. Rasa penasaran dan ingin tahu mereka dipenuhi dengan informasi-informasi yang benar namun belum tentu baik untuk mereka ketahui pada saat itu. Internet, majalah, film, siapa yang bisa menjamin keamanan narasumber yang mereka peroleh tentang dunia seksual? Bukankah satu-satunya sumber yang aman dan terpercaya adalah orangtua mereka sendiri? Yang tentunya sudah tahu dan sudah merencanakan yang terbaik untuk anak-anak mereka. Coba kita renungkan kembali, sebenarnya apa yang menjadi ujung tombak sikap kontradiktif kebanyakan orangtua dengan adanya pendidikan seks di dalam keluarga? Di sini bukan maksud saya menyalahkan sikap orangtua manapun dalam menyikapi kejadian di atas. Bisa dimengerti, budaya timur kita yang masih mengkotak-kotakan seks dan kehidupan sehari-hari, menjadikan hal tersebut tabu dan sangat ‘keramat’ untuk dijadikan topik pembicaraan, terlebih bagi anak di bawah umur. Hal inilah yang membuat sebagian orangtua merasa wajib menghindar atau mengalihkan pembicaraan ketika si Anak mulai menanyakan perihal seks.  Maka terjadilah ‘eksplorasi yang salah’ yang dilakukan sang anak tentang dunia seks. Di sinilah bisa terjadi permasalahan-permasalahan seks seperti munculnya Infeksi Menular Seksual (IMS), HIV/AIDS, married by accident, dan sebagainya.

Kemudian kepada apa dan siapa kita menuding adanya peristiwa-peristiwa penyimpangan seks yang telah disebutkan di atas? Kepada internetkah? Kepada mediakah? Kepada teknologikah? Atau bahkan kepada era globalisasikah?

Seyogyanya hal ini mampu dijadikan bahan pemikiran dan introspeksi diri bagi khalayak khususnya orangtua yang memiliki peran penting dalam pengembangan pribadi anak baik dari segi psikis maupun fisiknya. Itu dari lingkungan keluarga. Rumah pertama dan utama bagi si anak. Lalu bagaimana dengan peran sekolah sebagai rumah keduanya?

Faktanya, tidak sedikit orang yang sadar akan pentingnya pendidikan seks di usia dini. Bahkan sejak dulu banyak yang bersuara positif mengenai input pendidikan seks ke dalam sistem pengajaran di sekolah. Bagi penulis, hal itu bukanlah hal yang pantas untuk ditolak atau menimbulkan sikap kontradiktif. Karena di sini cara berpikir dan sudut pandang mereka mengenai seks akan lebih terarah sesuai pola usia dan kebutuhannya.

Maka di sinilah adanya Sex Education pada Usia Dini sangat esensial dan sangat dibutuhkan keberadaannya. Termasuk juga dengan Sex Education yang dipautkan dengan pengajaran di sekolah. Apakah masih terdengar tabu di telinga anda. Seks. Sekolah. Siswa-Siswi. berada dalam satu lingkup dan memiliki sistem di dalamnya. Masihkah terdengar ‘janggal’ di telinga Anda? Maka itu menurut Saya di sinilah harus diadakan metode pengajaran Behavioristik, yaitu metode belajar yang memiliki prinsip bahwasanya pola-pola perilaku itu dapat terbentuk dengan adanya  proses pembiasaan dan pengukuhan (reinforcement) dengan mengkondisikan stimulus dalam suatu lingkungan.

Tidak kalah memegang peranan penting dalam pembentukan karakter anak, sekolah atau pendidikan mengajarkan 3 aspek penting: Kognitif, afektif, dan psikomotorik. Menurut pengamatan Penulis, di sini kognitiflah yang paling dominan di antara ke-3nya. Para pendidik menuntut perkembangan anak didiknya lewat aspek kognitif saja. Akademik dan akademik. Tanpa memperhatikan character building yang tentu saja sangat penting bagi peserta didik. Sungguh disayangkan mengingat kapasitas pendidik di Indonesia yang padahal semakin kesini semakin membaik.

Apa yang ditakutkan dengan adanya sex education di dalam kelas? Pengalaman saya sewaktu SMA, pelajaran Biologi mengenai organ reproduksi saja bisa membuat kelas menjadi ricuh seketika. Apalagi diberikannya pendidikan seks secara detail dan menyeluruh? Maka itu ada baiknya pendidikan seks diajarkan tidak dijadikan satu mata pelajaran yang sengaja diadakan di kurikulum. Selain menghindari adanya kesalah pahaman dalam segi penangkapan, juga ada baiknya pendidikan seks yang lebih ‘memusat’ diajarkan oleh orangtua di rumah yang lebih mengerti karakter anak. Sekolah memberikan pendidikan seks secara ‘global’ bukan secara terpusat. Seks bukan hanya melulu mengenai hubungan suami istri.  Perubahan bentuk tubuh, masa pubertas, klasifikasi organ reproduksi pria dan wanita pun merupakan hal-hal yang berkenaan dengan seks. Sekolah bisa mengajarkan seks tanpa menjadikan seks sebagai satu mata pelajaran baru. Tapi bisa diselipkan di pelajaran-pelajaran lain. Contoh mudahnya, Biologi. Selain menjelaskan tentang organ reproduksi, pendidikpun bisa menjelaskan tentang seks secara implisit (tidak langsung), pendidik bisa menjelaskan mengenai dampak buruk dari perlakuan seks bebas, perilaku seks yang harus dihindari, dan sebagainya. Pelajaran kewarganegaraan, contohnya: sebagai warga negara yang baik yang berpedoman pada pancasila harus menaati sila pertama: ketuhanan yang maha esa. Di mana kita harus percaya dengan adanya Tuhan, maka takut dengan azab Tuhan. Melakukan seks di luar nikah adalah perbuatan dosa besar yang akan dilaknat Tuhan. Selain itu akan melanggar norma-norma keasusilaan. Dan pelajaran lain yang bisa dipadupadankan dengan pendidikan seks. Tentunya akan memberikan dampak yang positif bagis peserta didik. Berikut penulis memaparkan beberapa langkah penerapan metode Sex Education :
1
.     Penggunaan media audio-visual yang benar
Peserta didik bisa diberikan informasi melalui infocus. Video mengenai akibat pergaulan bebas (dalam kasus ini seks bebas) diperlihatkan pelakunya dan akibatnya. Tentu saja dengan menggunakan nama samaran dan disensor.
2.      Studi Kasus
Apabila ada orang yang mereka kenal melakukan perilaku negatif yaitu menonton video porno atau membaca majalah-majalah porno di hadapan mereka, apa yang akan mereka lakukan?
3.      Visitasi
Kunjungan ke rumah sakit, melihat lebih dekat dampak dan akibat dari penyimpangan seks. Memperoleh keterangan dari ahlinya (dokter, spesialis, dll)
4.      Tugas Kelompok
Melakukan riset sederhana mengenai dampak dari perlaku penyimpangan seks.
5.      Mentoring Keagamaan
Di sini dibangun benteng pertahanan keimanan peserta didik. Agar tidak ‘terpeleset’ dalam pergaulan. Hal ini pun sangat penting terhadap kejiwaan si Anak tersebut. Mengingatkan kepada Tuhannya di setiap perbuatan yang mereka lakukan membuat harapan besar adanya proses minimalisir atas munculnya permasalahan-permasalahan seks terutama di lingkungan peserta didik.

No comments:

Post a Comment