A: “Waktu masih duduk di bangku SMA, pelajaran
apa yang paling Lo suka? Yang paling favorit deh pokoknya!”
B: “hmm apa yaaa.. Biologi lah pastinya!”
A: “Hah? Kenapa jadi Biologi? Lo sempet pengen
jadi dokter ya? atau scientist?ah.. tapi kan Lo kan anak IPS”
B: “Hahaha, bukan kok, gue mah maunya jadi
enterpreneur”
A: “Loh? Terus?”
B: “Siapa sih yang ga suka kalo ada
pelajaran yang ngebahas sistem reproduksi? Hahaha”
A: “...”
Dialog singkat di atas bukan hanya sekedar wacana yang bisa memancing
senyum Anda semua ketika membacanya. Dialog ini sebenarnya sebuah percakapan
yang pernah dialami sendiri oleh penulis dengan teman satu sekolahnya. Kejadian
klise ini bisa dikatakan sebuah fenomena. Ya, fenomena sederhana yang patut
untuk dijadikan bahan perhatian bagi Kita semua.
Kenapa bisa menjadi bahan perhatian?
Bagaimana bisa, alasan seseorang mencintai suatu mata
pelajaran atas dasar suatu hal yang (masih) dianggap tabu? Seks. Dewasa ini,
dunia seks dan sebangsanya masih menjadi barang langka dan keramat untuk
dijadikan sebuah materi pembicaraan. Di lingkungan keluarga, lingkungan
pergaulan, bahkan seringkali terjadi di lingkungan pendidikan.
Lingkungan keluarga, di mana seorang anak memperoleh
pendidikan dasar yang tidak diajarkan di sekolah. Di mana orangtua, Ayah dan
Ibu, menjadi suri tauladan dan ‘wali kelas’ si Anak dalam proses belajar di
dalamnya. Memiliki banyak sendi-sendi pengajaran mengenai kehidupan yang
nantinya akan diaplikasikan si Anak dalam menjalani kehidupan. Termasuk
pengajaran tentang pendidikan seks. Anda mengernyitkan dahi? Penulis paham.
Karena faktanya, tidak sedikit mereka para orangtua yang masih menyikapi hal
ini dengan pola pikir tertutup. Kemudian ‘keingin-tahuan’ anak-anak mereka pun
digantung. Sampai akhirnya ‘menggantung’ pada tempat yang salah. Rasa penasaran
dan ingin tahu mereka dipenuhi dengan informasi-informasi yang benar namun
belum tentu baik untuk mereka ketahui pada saat itu. Internet, majalah, film, siapa
yang bisa menjamin keamanan narasumber yang mereka peroleh tentang dunia
seksual? Bukankah satu-satunya sumber yang aman dan terpercaya adalah orangtua
mereka sendiri? Yang tentunya sudah tahu dan sudah merencanakan yang terbaik
untuk anak-anak mereka. Coba kita renungkan kembali, sebenarnya apa yang
menjadi ujung tombak sikap kontradiktif kebanyakan orangtua dengan adanya
pendidikan seks di dalam keluarga? Di sini bukan maksud saya menyalahkan sikap
orangtua manapun dalam menyikapi kejadian di atas. Bisa dimengerti, budaya timur
kita yang masih mengkotak-kotakan seks dan kehidupan sehari-hari, menjadikan
hal tersebut tabu dan sangat ‘keramat’ untuk dijadikan topik pembicaraan, terlebih
bagi anak di bawah umur. Hal inilah yang membuat sebagian orangtua merasa wajib
menghindar atau mengalihkan pembicaraan ketika si Anak mulai menanyakan perihal
seks. Maka terjadilah ‘eksplorasi yang
salah’ yang dilakukan sang anak tentang dunia seks. Di sinilah bisa terjadi
permasalahan-permasalahan seks seperti munculnya Infeksi Menular Seksual (IMS),
HIV/AIDS, married by accident, dan sebagainya.
Kemudian kepada apa dan siapa kita menuding adanya
peristiwa-peristiwa penyimpangan seks yang telah disebutkan di atas? Kepada
internetkah? Kepada mediakah? Kepada teknologikah? Atau bahkan kepada era
globalisasikah?
Seyogyanya hal ini mampu dijadikan bahan pemikiran dan
introspeksi diri bagi khalayak khususnya orangtua yang memiliki peran penting
dalam pengembangan pribadi anak baik dari segi psikis maupun fisiknya. Itu dari
lingkungan keluarga. Rumah pertama dan utama bagi si anak. Lalu bagaimana
dengan peran sekolah sebagai rumah keduanya?
Faktanya, tidak sedikit orang yang sadar akan pentingnya
pendidikan seks di usia dini. Bahkan sejak dulu banyak yang bersuara positif
mengenai input pendidikan seks ke
dalam sistem pengajaran di sekolah. Bagi penulis, hal itu bukanlah hal yang
pantas untuk ditolak atau menimbulkan sikap kontradiktif. Karena di sini cara
berpikir dan sudut pandang mereka mengenai seks akan lebih terarah sesuai pola
usia dan kebutuhannya.
Maka di sinilah adanya Sex Education pada Usia Dini sangat
esensial dan sangat dibutuhkan keberadaannya. Termasuk juga dengan Sex
Education yang dipautkan dengan pengajaran di sekolah. Apakah masih terdengar
tabu di telinga anda. Seks. Sekolah. Siswa-Siswi. berada dalam satu lingkup dan
memiliki sistem di dalamnya. Masihkah terdengar ‘janggal’ di telinga Anda? Maka
itu menurut Saya di sinilah harus diadakan metode pengajaran Behavioristik, yaitu metode belajar yang
memiliki prinsip bahwasanya pola-pola perilaku itu dapat terbentuk dengan
adanya proses pembiasaan dan pengukuhan
(reinforcement) dengan mengkondisikan
stimulus dalam suatu lingkungan.
Tidak kalah memegang peranan penting dalam pembentukan
karakter anak, sekolah atau pendidikan mengajarkan 3 aspek penting: Kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Menurut pengamatan Penulis, di sini kognitiflah yang
paling dominan di antara ke-3nya. Para pendidik menuntut perkembangan anak
didiknya lewat aspek kognitif saja. Akademik dan akademik. Tanpa memperhatikan character building yang tentu saja sangat
penting bagi peserta didik. Sungguh disayangkan mengingat kapasitas pendidik di
Indonesia yang padahal semakin kesini semakin membaik.
Apa yang ditakutkan dengan adanya sex education di dalam kelas? Pengalaman saya sewaktu SMA,
pelajaran Biologi mengenai organ reproduksi saja bisa membuat kelas menjadi
ricuh seketika. Apalagi diberikannya pendidikan seks secara detail dan
menyeluruh? Maka itu ada baiknya pendidikan seks diajarkan tidak dijadikan satu
mata pelajaran yang sengaja diadakan di kurikulum. Selain menghindari adanya
kesalah pahaman dalam segi penangkapan, juga ada baiknya pendidikan seks yang
lebih ‘memusat’ diajarkan oleh orangtua di rumah yang lebih mengerti karakter
anak. Sekolah memberikan pendidikan seks secara ‘global’ bukan secara terpusat.
Seks bukan hanya melulu mengenai hubungan suami istri. Perubahan bentuk tubuh, masa pubertas,
klasifikasi organ reproduksi pria dan wanita pun merupakan hal-hal yang
berkenaan dengan seks. Sekolah bisa mengajarkan seks tanpa menjadikan seks
sebagai satu mata pelajaran baru. Tapi bisa diselipkan di pelajaran-pelajaran
lain. Contoh mudahnya, Biologi. Selain menjelaskan tentang organ reproduksi,
pendidikpun bisa menjelaskan tentang seks secara implisit (tidak langsung),
pendidik bisa menjelaskan mengenai dampak buruk dari perlakuan seks bebas,
perilaku seks yang harus dihindari, dan sebagainya. Pelajaran kewarganegaraan,
contohnya: sebagai warga negara yang baik yang berpedoman pada pancasila harus
menaati sila pertama: ketuhanan yang maha esa. Di mana kita harus percaya
dengan adanya Tuhan, maka takut dengan azab Tuhan. Melakukan seks di luar nikah
adalah perbuatan dosa besar yang akan dilaknat Tuhan. Selain itu akan melanggar
norma-norma keasusilaan. Dan pelajaran lain yang bisa dipadupadankan dengan
pendidikan seks. Tentunya akan memberikan dampak yang positif bagis peserta
didik. Berikut penulis memaparkan beberapa langkah penerapan metode Sex
Education :
1
. Penggunaan
media audio-visual yang benar
Peserta didik bisa diberikan informasi melalui infocus. Video
mengenai akibat pergaulan bebas (dalam kasus ini seks bebas) diperlihatkan
pelakunya dan akibatnya. Tentu saja dengan menggunakan nama samaran dan
disensor.
2. Studi Kasus
Apabila ada orang yang mereka kenal melakukan perilaku
negatif yaitu menonton video porno atau membaca majalah-majalah porno di
hadapan mereka, apa yang akan mereka lakukan?
3. Visitasi
Kunjungan ke rumah sakit, melihat lebih dekat dampak dan
akibat dari penyimpangan seks. Memperoleh keterangan dari ahlinya (dokter,
spesialis, dll)
4. Tugas
Kelompok
Melakukan riset sederhana mengenai dampak dari perlaku penyimpangan
seks.
5. Mentoring
Keagamaan
Di sini dibangun benteng pertahanan keimanan peserta didik.
Agar tidak ‘terpeleset’ dalam pergaulan. Hal ini pun sangat penting terhadap
kejiwaan si Anak tersebut. Mengingatkan kepada Tuhannya di setiap perbuatan
yang mereka lakukan membuat harapan besar adanya proses minimalisir atas
munculnya permasalahan-permasalahan seks terutama di lingkungan peserta didik.
No comments:
Post a Comment