Tuesday, 17 July 2012

Menjadi Pendidik? Bergelar SPd? Sebentar...



 Wah, Saya jadi interesting banget nih dengan adanya lomba Blog Sampoerna School of Education, soalnyaaaa... Saya jadi lebih membuka hati, pikiran, perasaan, mata, telinga, hidung, mulut ah semua-muanya tentang pendidikan, ya! dunia yang tengah menjadi 'partikel utama' di dalam dinamika hidup Saya sekarang ini. there.. there.. ini tulisan Saya semoga bermanfaat bagi semua yang dengan senang hati membacanya.. here you are..

Pendidik. Readers, pendidik –tentu saja- berbeda dengan penduduk. Pendidik memiliki scope yang berbeda daripada sekedar sekumpulan populasi yang dinamakan penduduk. Pendidik adalah penduduk, namun menurut Saya, tidak semua penduduk bisa menjadi pendidik. Pendidik adalah sebuah profesi yang mulia, priceless, honourable, yang pantas untuk disejajarkan dengan profesi mulia lain seperti dokter, polisi, ABRI, etc etc. Mereka bekerja dan berkutat di dunia yang berbeda dan dengan jenis pekerjaan yang berbeda pula, tetapi bermuara pada satu penghujung yang serupa: bermanfaat BESAR bagi nasib orang lain. Pendidik bahkan lebih dari sekedar itu. Ia memanusiakan manusia (nah, ini yang Saya dapatkan dari mata kuliah Landasan Pendidikan di semester ke dua) meng’otak’kan otak manusia, menghidupkan hidup manusia. oke, pernyataan tersebut lebih terdengar seperti... Pendidik, bikin hidup lebih hidup. Oke cukup, Saya tidak mau dicekal karena penggunaan slogan berlisensi. Just kidding.
                Bahkan dokter, polisi, dan berbagai profesi hi-class dan enak didenger yang sudah Saya bla bla bla kan di atas tadi tidak terlepas dari peran si pendidik yang satu ini. Logikanya, kalo mau menepis kenyataan tersebut, heloo siapa yang mengajarkan cara make stetoskop? Siapa yang mengajarkan peraturan baris berbaris. Hap hap hap. Itu semua ada di tangan pendidik lho, Guys.
 For your info, dalam wujud apapun, dalam balutan busana apapun, bahkan dalam logat berbicara seperti apapun, mereka yang mampu berperan sebagai planner, organizer, dan evaluator dalam proses pembentukan suatu kepribadian organisme (in case for human only) yang lebih unggul (atau setidaknya maju) bisa dikatakan sebagai pendidik. Mereka yang mampu menjadi inovator dalam pembentukan individu yang kelak mampu bermanfaat bagi kehidupan ortang banyak, yang memiliki fungsi yang penting dalam eksistensinya, adalah seorang Pendidik.

Mulia bukan, seorang pendidik itu?

Berpikirlah objektif makan Kamu akan menjawab, “Ya”

Saya dan beberapa teman sesama calon pendidik. we're happy? of course!
Saya Viny dan saya adalah seorang calon pendidik yang sekarang tengah menyelesaikan studinya di  sebuah Universitas Negeri keguruan favorit  di Bandung.
Oh, bukan, tentu saja bukan karena Saya adalah bagian dari proses pembentukan pendidik, maka di sini Saya secara gamblang menyuarakan betapa mulia dan ’keren’nya menjadi seorang pendidik itu. Tentu saja bukan itu alasan utamanya. (sebenarnya itu alasan ke sekian) (abaikan itu).
Awalnya, tepatnya ketika Saya masih begitu polos dalam balutan seragam putih-abu, Saya adalah seorang anak yang amat dangkal dalam berpikir dan berasumsi. Namun, selalu menganggap dirinya hebat, benar, dan orang lain yang keliru. Orang lain selalu beranggapan pekerjaan menjadi seorang guru itu adalah pekerjaan yang hebat, mulia, keren, etc etc. Tapi Saya, yang saat itu masih berpikir materialistis memandang bahwa jadi guru itu ga oke, liat aja gajinya. Katanya gajinya sedikitlah, murahlah,lebih layak dikatakan ‘uang jajan’lah. Dan begitu banyak asumsi berlebihan yang berujuk negatif terhadap pekerjaan guru. Bahkan saat itu tidak jarang Saya mencibir terhadap tangan-tangan yang terangkat ke udara saat muncul pertanyaan klasik dari seorang guru Biologi di kelas Saya saat itu yang berbunyi, “Siapa di sini yang kelak ingin menjadi seorang guru seperti Ibu?”
Tanpa Saya sadari bahwa asumsi-asumsi ‘liar’ Saya itu hanya berbasis pada honor semata. Lihat kan? Betapa dangkalnya..
Sampai suatu hari, singkat cerita, Saya -katakanlah- terdampar di sebuah Universitas keguruan favorit di kota impian saya, Bandung. Dan saya tanpa saya sadari lagi, Saya memilih sebuah jurusan yang kelak menuntut Saya untuk menyandang gelar SPd yang segelintir orang menjadikannya akronim dari Sarjana Penuh Derita, Sarjana Penuh Duka, Sarjana Perih Duitnya de el el de el el. yak, Saya memilih Pendidikan Teknik Sipil. Luar biasa bukan? Saya anak teknik sekaligus calon pendidik. Dua ‘jabatan’ yang tidak pernah sedikitpun Saya berniat terjun di dalamnya. Saya ini verbal-oriented. Kepada dunia bahasa dan sastralah ‘harusnya’ saya mengabdikan diri. Haha. Namun Tuhan ternyata berkehendak lain. Dan Saya harus mensyukurinya. Di kemudian hari Saya pun lebih dari sekedar bersyukur.

with them, parts of my recent 'world'.

Tetapi, saat itu.. SPd, Tuhaaan, kenapa harus SPd?
Sebuah gelar yang hanya memiliki satu definisi: Guru. Apapun jurusannya, bahkan  betapa bergengsinya jurusan Saya ini, Teknik Sipil. Tetap saja harus direfleksikan oleh 3 huruf itu. Aaaaaaaaaarrrhh.. saat itu Saya sempat mengalami apa yang namanya depresi. Bahkan sempat ingin pindah jurusan hanya karena tidak mau menyandang gelar yang sebenarnya mulia tersebut.
Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, cerita-cerita hidup yang dibumbui kehidupan kuliah di dunia pendidikan mulai bisa dijadikan sebuah kisah hidup yang menarik, yang semoga kelak akan menjadi sejarah pengantar kesuksesan Saya. Saya mulai.. sedikit tertarik dengan pendidikan, dunia yang tidak sekedar mengajarkan untuk belajar. Tapi mengajarkan untuk mengajar. Landasan Pendidikan, Psikologi Pendidikan, Perkembangan Peserta Didik.. sangatlah kontras dengan mata kuliah lain seperti Mekanika Tanah, Konstruksi Bangunan, Analisis Struktur dan berbagi mata kuliah yang terkadang membuat orang lain harus membuka-buka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) demi menemukan arti dari mata kuliah tersebut. Otak Saya terbagi-bagi. Saya harus berpikir engineer-alike tetapi tanpa meninggalkan ilmu-ilmu keguruan yang Saya pelajari. Saya mulai terbiasa dengan dinamika hidup seperti ini. Ya, Saya suka, Saya cinta dunia pendidikan. Saya suka menjadi calon guru.
Dunia,lihatlah..
Saya  adalah calon mulia yang akan menjadi bagian penting. Bagian penting dalam mekanisme pembentukan sebuah individu. Individu yang merupakan cikal bakal kesuksesan.
Pola pikir Saya berubah saat itu juga. Terkadang Saya mensyukuri saat-saat di mana kelabilan Saya mulai muncul. Kelabilan dalam berpikir maksudnya. Pendidik, Guru, Dosen,atau bahkan tutor privat sekalipun (seperti yang sedang saya jalani saat ini) dituntut harus bisa menjadi seorang Konservator, Transmitor, Transfomator, Organisator, Planner, dan Evaluator
See?
Betapa ‘iya banget’ nya menjadi seorang pendidik. Dan Saya sungguh bangga bisa menjadi salah seorang peserta didik yang dididik menjadi calon pendidik. Meskipun sebenarnya untuk ke depannya nanti Saya masih belum mantap memutuskan apakah akan mengabdikan diri sepenuhnya di dunia pendidikan ini atau di dunia jurnalistik (the other one side I love the most). Namun Saya sungguh bersyukur, diberi kesempatan untuk bisa mendalami ‘jurus-jurus’ dalam mendidik yang terus terang saja bisa memberikan begitu banyak kemudahan dan manfaat dalam hidup saya. Terlebih, sekarang Saya tengah menjalani sebuah pekerjaan menjadi seorang guru privat.
Ingat, mendidik adalah proses memanusiakan manusia. KITA adalah manusia, dan KITA  tetap butuh untuk dimanusiakan. J

3 comments:

  1. tulisan yang bagus :)
    saya juga calon pendidik lho.. guru, we have a passion for young people hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih :) aduh saya lupa.. Udah lama banget tulisan ini hehe

      Delete
    2. Terimakasih :) aduh saya lupa.. Udah lama banget tulisan ini hehe

      Delete