Sunday, 28 June 2015

PLURALITAS SEBAGAI PEMERSATU BANGSA



Essay ini diajukan sebagai syarat beasiswa DATAPRINT 2015 Periode I


 
            “Didasari sebuah niat baik bahwa sesuatu yang tak sama akan membuka wawasan kita…”

Dikutip dari Teh Lely Mei, penggerak sebuah komunitas bernama AARC (Asian African Reading Club) Bandung sekaligus penyiar di salah satu radio swasta ternama di Indonesia.

Suatu hari penulis berkesempatan berbincang dengan beberapa kawan di komunitas tersebut. Pemikiran teh Lely adalah satu dari banyak pemikiran yang mufakat terhadap eksistensi pluralitas di Indonesia. Pluralitas, sebuah istilah yang di dalamnya mengandung makna luar biasa. Pluralitas sudah tidak asing lagi bagi berbagai kalangan, baik dari segi pro maupun segi kontra.

Berangkat dari sebuah opini bahwa sesuatu yang tak sama akan membuka wawasan kita. Penulis setuju. 100 persen setuju. Sesuai dengan judul essay ini, pluralitas sebagai pemersatu bangsa. Bukan hal yang sulit bagi kita untuk menyadari realita ini. Bahkan dalam teks Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, Sang Proklamator Ir. Soekarno mengamininya.

Adalah benar bahwa wawasan akan terbuka lebar dengan sikap kita mau menerima perbedaan. Di sini yang akan saya angkat mengenai pluralitas ada di scope sosial, budaya, dan pendidikan. Bayangkan bila seseorang selalu berada pada satu wilayah yang itu-itu saja, alias tidak mau keluar dari zona nyaman, menentang segala pemikiran yang berbeda dengan pemikiran yang sudah ditanamkan di otaknya, penulis beranggapan menerima perbedaan bukan berarti kita harus ‘menganutnya’ apabila memang bertentangan dengan prinsip dan aturan yang kita jalani, ya sudah. Mudah saja. Tidak usah ikut-ikutan menganutnya. Cukup terima dengan menghargai perbedaan tersebut.

Bung Karno sang proklamator kita berujar dalam Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 bahwa sila pertama adalah kebangsaan. Tidak akan ada Indonesia kalau tidak ada orang Minang, Sunda, Jawa, Batak, Dayak, dan lain-lain. Hal ini sudah sangat jelas kita rasakan. Inilah pluralitas dalam bersosial dan berbudaya. Dan inilah yang menjadikan Indonesia bersatu. Hingga sekarang. Apabila orang-orang sudah mulai menutup semua panca indera tentang pluralitas bersosial dan berbudaya, Indonesia pasti akan terpecah belah. Kenapa? Karena pada hakikatnya Indonesia adalah kesatuan yang beragam. Tidak bisa dielakkan. Keberagaman membuat kita sadar bahwa kata “bersatu” timbul karena ada kata “beragam”.
           
 Maka sebagai negara yang paling plural di dunia dengan menggunakan lebih dari 250 bahasa serta 500 etnik di dalamnya, kita harusnya sadar bahwa pluralitas dapat kita jadikan sebuah tombak pemersatu bangsa yang amat beragam ini. Menghargai Bahasa dan kebudayaan daerah lain dan menghormati antar umat beragama adalah beberapa hal sederhana namun memiliki dampak besar dalam menjunjung asas pluralitas.
           
 Mau tidak mau, tidak dapat disangkal negara kita adalah negara yang plural, maka cerdasa\lah dalam menyikapi eksistensi pluralitas. Sebagai masyarakat yang cerdas, terutama pemuda penerus generasi bangsa, ada baiknya kita tidak menolak atau menerima secara mentah-mentah pluralitas itu sendiri. Kita wajib mengertim hakikat dari pluralitas tersebut, sehingga kita tahu apa yang harus diupayakan dalam menyongsong kesatuan melalui eksistensi pluralitas di Indonesia.

Salam pesatuan bangsa!

Friday, 26 June 2015

Ikhtisar Sederhana untukmu Jiwa Muda Bernama MAHASISWA



image source: adhiyonkou.blogspot.com
Mahasiswa, dari satu set seragam putih abu-abu ke setelan bebas khas kaum terpelajar. Mahasiswa, saat ini, mungkin baru saja genap beberapa bulan lalu kalian tanggalkan beragam atribut yang mencap dirimu sebagai siswa. Kalian ayunkan kaki-kaki kecil itu dengan gelora semangat membuncah di dada. Tidak ada siapapun yang bisa menandingi denyut semangat itu. Angan dan citamu dilambung tinggi saat itu. Saat itu?
Ya, saat itu.
Hai, apa kabar mahasiswa lama? Ada yang ingin kita utarakan kepada adik-adik kita yang berada di tengah euphoria menyandang status mahasiswanya?
Aku ada.  Tentu tiada maksud menggurui.
Sedari awal kalian menyongsong sebuah royal gate bernama Universitas, disambut dengan buhul-buhul selamat datang yang seakan menerbangkanmu ke nirwana. Tekadmu kuat saat itu. Tapi tidak ada yang lebih kuat daripada tekadmu untuk lulus sebagai seorang sarjana. Ah.. Sarjana..
Hal normatif ini membawaku pada segelintir kalimat yang menteri Indonesia pertama kita, Sutan Sjahrir ucapkan

“Sarjana dan Intelektual itu berbeda”

Sjahrir jelas memeta-metakan kata sarjana dan intelektual ke dalam kotak yang berbeda. Sarjana jelas menggunakan ilmunya hanya sebagai alat perkakas pengukir sebuah gelar di belakang nama. Ya, titel kesarjanaan. Ilmu pengetahuan tak lebih dari barang mati untuknya. Barang mati yang hanya akan hidup ketika sebuah lampu bernama “TUGAS” menyala berkedip-kedip.
Lalu bagaimana dengan intelektual?
Bagi manusia Sjahrir, yang diaminkan juga olehku, Intelektual yang hidup didirinya adalah pengetahuan-pengetahuan yang ia dapatkan. Ilmu pengetahuan adalah makanan sehari-hari. Semua itu ia dapatkan tidak hanya dengan membaca literatur spesialisasi bidangnya saja. Intelektual masih akan terus mengais-ngais ilmu pengetahuan demi memenuhi dahaganya akan hal tersebut.
Teruntukmu mahasiswa baru, menciptakan semangat adalah barang yang paling mudah didapatkan daripada mempertahankannya. Hari ini bisa saja setiap pagi kalian bangun 2 jam lebih awal sebelum berangkat ke kampus. Mempersiapkan beragam hal dari yang terkecil semacam kaus kaki apa yang akan digunakan ke kampus, buku-buku apa yang harus dibawa, sampai mempelajari materi-materi yang akan dosen cekoki nanti ketika di kelas.
Tapi kelak, rasa malas, bosan, jengah, dan kalimat bernada “lelah-dan-ingin-nikah-saja” adalah hal yang semakin ramah menjamah hari-harimu. Perlahan-lahan merampok semangatmu. Tanpa dipungkiri, pasti akan terjadi. Tapi berjanjilah untuk tidak mempersilahkan mereka bertamu ke dalam kehidupanmu terlalu lama sehingga lupa untuk apa dan karena siapa kalian ke sini.
Bila sarjana tidak pernah kalian rasa cukup, bila intelektualitas ingin kalian jajal lewat banyak pengalaman berorganisasi, bila kreatifitas kalian harus diverifikasi melalui ajang kompetisi, bila ingin aplikasikan tridharma perguruan tinggi melalui pengabdian, dan, bila menjadi seseorang yang tidak hanya sekedar menyandang gelar sarjana namun bila ditanya susunan kabinet kementrian Negara saja kau hanya bisa menggeleng dan berkilah “Sorry, gue anak eksak. Ga tau politik”
Kamu masih punya kesempatan.
Dik, semua bermuara pada pilihanmu,
Menjadi Intelektual cap sarjana
Atau Sarjana cap intelektual?

Aku Harus Menulis.

image source: kacamatacupu.blogspot.com



Aku harus menulis. Aku harus menulis.

Kalimat itu bergema di kepalaku secara sporadis belakangan ini. Aku sudah lama tidak bersentuhan dengan kerumunan diksi-diksi indah nan bermakna, aku sudah lama tidak bergelut dengan tuts-tuts keyboard laptopku, aku sudah lama tidak memanjakan isi kepala ini dengan berpikir sesuatu yang lain di luar tugas-tugas kuliah.
Selama ini sebenarnya aku merasa dipenjara
Kennaapah? Begitu kata anak kecil di sebuah iklan susu.
Karena aku sudah lama tidak menulis!

Menulis seperti sebuah obat bagiku. Sebagai pemulih isi kepalaku yang sudah lama tidak ter-upgrade. Mereka bilang aku harus focus. Focus dengan tugas perkuliahanku. Tapi lihatlah Presiden pertama kita Sang Proklamator Ir. Soekarno, bersama tumpukan buku ia hidupi suasana penjara yang sepi. Kemudian ia menulis. Lihatlah Bung Hatta, dua peti buku ia sertakan bersama pengasingannya. Kemudian ia menulis. Beliau yang paling menginspirasi, Insinyur dirgantara, Presiden ke-3 kita, Bapak B.J Habibie. Manusia yang tidak pernah lepas dari buku dan hobi menulisnya ini toh menjadi salah satu pemuka ilmu pengetahuan di Indonesia, bahkan dunia. Bukan dari bidang sosial dan humaniora ia berasal. Beliau manusia eksak. Karena berurusan dengan rumus dan angka tidaklah pernah cukup untuk keberlangsungan hidup otaknya, beliau terus menulis. Hingga sekarang. Beliau menyisihkan beberapa jam dari 24 jam yang dimiliki untuk sekedar menuangkan pikirannya ke atas kertas. Mungkin juga untuk dunia

Maka lewat kata-kata yang saling menjalin menjadi sebuah untaian kalimat. Lewat bunyi tuts demi tuts keyboard yang memanjakan pendengaran. Lewat ide dan pemikiran yang begitu liar tertumpahkan ke atas sebuah lembaran kosong.
Aku bahagia.

Sejak laptopku diharuskan mengganti hard disk dan akhirnya BWOOSSH! Semua draft tulisanku hilang. Tak perlu ditanya mengapa semangat menulisku menjadi redup. Tapi kini, percikan api semangat itu telah dipantik oleh sekumpulan manusia-manusia produktif membaca dan menulis yang tergabung dalam komunitas Asian African Reading Club (AARC).  Dari mereka aku mengerti betapa hidup harus selalu dihantui dahaga akan membaca dan menulis. Karena dua komponen itu sungguh berarti. Aslinya. Sungguh berarti. Dengan membaca kamu mengenal dunia, dan dengan menulis kamu dikenal dunia.

Maka mulai hari ini, terhitung sejak detik jam di dinding kamarmu berdetak (di kamarku tidak. Aku tidak punya jam dinding. Jam di handphone membuatku lupa betapa jam dinding itu sangat diperlukan. Ya, supaya detiknya dapat meramaikan sepinya kamar)
Aku harus kembali menulis.
Bismilllah.



Bandung, 11 Juni 2015
dicekam udara pagi dengan segelas air hangat-hangat kuku sebagai penawarnya.