Thursday, 26 September 2013

DOSEN?

Di sela-sela waktu saya belajar Teknik Pondasi buat UAS nanti siang, di tengah-tengah kebingungan yang melanda : bahan apa aja nih yang mau dipelajarin? Yakin Cuma beberapa lembar segini? Dan diperparah begadang kali ini ga ditemani belahan jiwa saya Kapal Api Cappucino (percayalah, tulisan ini tidak beraliansi dengan pihak perusahaan kopi manapun), terbesit pemikiran subjektif saya sebagai mahasiswa pendidikan teknik sipil, angkatan 2011, yang tugasnya beranak pinak, yang setiap dini harinya bersahabat bagai kepompong dengan kopi dan beberapa channel radio Bandung, yang suka main sudoku tapi ga maju maju levelnya, yang suka ngupil di keramaian *eh, yang suka nyiumin ketek ibunya (maaf, ini pikiran penulis yang kayanya mulai rusak) tentang mahasiswa yang masih suka mengeluh kira2 seperti ini (tidak terkecuali saya) “Ah gimana mau beres tugasnya, ngerti juga engga. Dosennya aja ga pernah ngajarin, cyiiinn” ya okelah ga selebay itu juga sih haha. Camkan ini: menurut guide book untuk mahasiswa yang saya baca karya K. Bertens quoted, bahwa kuliah itu adalah “pukulan pertama” yang diberikan oleh dosen. Sesudah itu harus menyusul lagi pukulan-pukulan berikutnya yang diberikan oleh mahasiswa sendiri, supaya “paku” (baca: bahan kuliah) masuk betul.
  Hmm it’s noted on my mind, honestly. Saya bukan termasuk orang yang terlalu sering mengeluhkan banyaknya tugas yang numpuk mirip cucian saya di kostan. Tapi lebih kepada dosen dan attitudenya sendiri saya sering mengeluh. Ya, critical person lah saya ini dikatakannya haha. Jarang masuknya dosen (bener-bener jarang. Jarang banget. Nget nget), terlalu cepatnya mereka memberikan materi, hingga rasanya untuk berkedip pun kita sudah merugi waktu, karena kecepatan materinya yang sepersekian detik, melebihi kecepatan supersonic si landak biru biru itu, benar-benar mengganggu kinerja otak kami (atau mungkin hanya saya? Cung! Yang ngerasa sama) di mana rasanya proses menangkap, menyerap, dan mencerna blending menjadi satu momen sekaligus. Ya bagi yang mampu dan memang pada dasarnya punya tingkat kecerdasan di atas rata-rata sih okelah, no problem at all. Lah buat kita-kita yang unfortunately berkebutuhan khusus ketika menerima materi sebanyak itu? Keluar kelas yang ada pada update status dengan kadar frustrasi tingkat dewi-dewi

  Belum lagi beberapa dosen yang sayang sekali intelektualitas dan kecerdasan dalam bidang eksaknya jauuuh lebih tinggi ketimbang keahlian public speaking yang diharapkan setidaknya mampu membuat kami betah di kelas walaupun hanya secuil bahan kuliah yang beliau bisa sampaikan.

  And the more and more~

Lucunya, dari puluhan summary keluhan yang sering saya dengar atau perdengarkan, kenapa tidak ada satupun yang membiarkan dosen dosen itu tahu dari mulut kita sendiri?
Sampai suatu ketika saya tersadar satu hal, hey miss we have been already in a COLLEGE!Kita mahasiswa, bukan lagi di sekolah, bukan lagi anak SMA/SMK/MA. Kita ini University Student, mahasiswa. Maha. Siswa. M.a.h.a.s.i.s.w.a. Siswa yang dimahakan (halah!) kembali pada kutipan yang saya temukan di sebuah mini guide book tadi, kuliah itu adalah “pukulan pertama” yang diberikan oleh dosen. Sesudah itu harus menyusul lagi pukulan-pukulan berikutnya yang diberikan oleh mahasiswa sendiri, supaya “paku” (baca: bahan kuliah) masuk betul. Membuat saya akhirnya meluangkan waktu untuk meratapi sejenak kekesalan saya pada attitude beberapa dosen yang bisa dikatakan ‘selonong boy’ atau seenaknya. Mau tidak mau, suka tidak suka, sayang tidak sayang, cinta tidak cinta (halah apasivin) keberadaan dosen sejak nyonya Meneer setia berdiri hingga sekarang memang adanya seperti itu. Bermacam-macam karakter yang ada adalah seni dalam sebuah perkuliahan. Kalau ga gitu yaa karakter kita sebagai mahasiswa yang notabene sudah siap untuk terjun dan basah-basahan di dunia orang dewasa dan profesionalitas ga akan terpahat secara rapi. Ya kalo terus disuapin sama dosen, apa bedanya sama pas SMA? (bahkan ada beberapa SMA yang entah sengaja atau tidak menyediakan tenaga pendidik yang kapasitas “selonong boy”nya sama seperti dosen. Entahlah. Tapi SMA ya SMA, beda sama kuliah). Kalau tadi K. Bertens menganalogikan paku sebagai bahan kuliah, merujuk dari pernyataan beliau, saya lebih suka mengatakannya seperti ini: Paku itu mahasiswa, Pukulan pertama adalah kuliah dari dosen. Kalau Cuma dipukul sekali mbok ya ga bakalan nanceb to’? terus dan terus pukul lagi dengan rajinnya kita ke perpus buat cari bahan referensi, tersedianya wifi bisa dipakai buat searching referensi yang unlimited, rajin nanya ke kaka tingkat atau teman yang punya abilitas akademik sedikit di atas kita, atau bahkan ade tingkat yang ilmunya (yang kita udah lupain) masih anget di otak. Gengsi? Wooo mending kita hapuskan dulu deh dari kamus hidup kita kata gengsi tersebut. Sekarang mah tanamkan baik-baik LIHAT APA ISINYA, BUKAN BUNGKUSNYA.

Tapi suka ada lho, dosen yang hanya dengan ilmu yang beliau transfer ke kita (dengan jurus kame-kameha. Oh abaikan) dan sedikit saja referensi (itu juga beliau yang menganjurkan) kita bisa benar-benar siap untuk mengahadapi tugas besar dan berbagai beban, eh salah, maksudnya tantangan dalam perkuliahan. Emang? Ah ada pasti! Ya, buat kita mahasiswa yang dianalogikan sebagai ‘paku’, dosen seperti itu layaknya palu godam yang ada di workshop kayu di fakultas saya. Bigger than ever! Dengan sekali pukulan, paku udah nancep setengahnya, alamak, ini sih Alhamdulillah banget. Ya tapi kembali pada realita yang ada. Bangun dan berhentilah berandai-andai :)

Dosen oh dosen, bagaimanapun mereka, sekuat apa idealisme kita sebagai mahasiswa, inilah adanya, inilah fakta dan ketentuan yang harus diterima. Tulisan ini juga cerminan dari saya yang kadang masih khilaf dalam men-judge dosen. (hampura nya, Pak, Bu..)

ya, selamat pagi teman-teman seperjuangan :) ijinkan saya membagi buah pikiran saya dalam bentuk tulisan yang entah layak baca entah tidak haha

last..
Kita harus banyak menggali, jangan Cuma mau terus-terusan disuapin. Disuapinnya udah yah selama 12 tahun di sekolah :)

Regards!


Viny

Saturday, 19 January 2013

Blekiman


200ribu?

CTAAAR!!

Duniaku runtuh, partikel-partikel kecil neraka jahannam yang ada di atas sana, yang berabad-abad jauhnya seakan-akan jatuh menimpa atap kamar kosanku. 200ribu. Dapat dari mana? Blekiman sakit. Printer canon MP287 hitam satu-satunya yang berhasil aku beli sendiri dari uang tabunganku ditambah honor menjadi guru privatku itu sakit. Entah kenapa tintanya ga keluar. Cartridge ga kedetect. Setelah berhasil dijamah dengan beberapa tangan handal yang secara sukarela membantu proses penyembuhan Blekiman, ternyata tidak bertahan lama. Ini serius. Blekiman harus mendapat perawatan medis. Dan setelah didiagnosa di sebuah kios service computer stuffs yang bernama Sinar L****r, Blekiman sakit serius. Ouch! Padahal Blekiman baru berusia 3 bulan setelah aku gendong dengan mesranya keluar dari BEC L cartridge colournya ga kedetect. Di dalem cartridge terjadi musibah banjir tinta. Mungkin karena aku pernah –secara tidak sengaja- memposisikan si infusan lebih tinggi dari Blekiman –tentu saja dengan ketidaktahuanku- sebenarnya tujuannya supaya si tinta yang mampet di selang infusan mengalir ke cartridgenya dengan lancar. Karena secara teoritis yaaa air mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Ya kan? Correct! Dan aliran air yang mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah itu juga  alamiahnya tidak bisa mengontrol sendiri laju kecepatan dan debit airnya bila tidak ada variabel yang menahannya. Begitpun pada kasus tinta dan blekiman. Serously, tinta yang mengalir di cartridge pun tidak terkontrol dan BYAAARR!! Banjir seketika. Oke oke, my bad.

“200ribu, teh buat ganti cartridge sekalian dipasangin. Ini udah saya bersihin tinta yang keluarnya. Ada garansi sebulan juga teh”

Dan blablabla kalimat persuasi penuh iming-iming terlontar dari mulut si bapak tukang service. Yah, sepanjang dan sebagus apapun kalimat itu selama masih ada kata-kata yang berbau 200ribu, aku tetap hanya bisa menutup telinga. Dari mana? Kebetulan aku sudah resign dari tempatku mengajar sekarang. Resign? Seberani itukah? Ya sebenarnya banyak sekali keluhan bombastis mengenai lembaga privat tempat aku menggali lubang, mengeruk sesuatu demi menutup lubang-lubang kebutuhan primer maupun sekunderku ini. Ada yang aneh. Banyak sekali yang tidak selaras dengan pernyataan di kontrak kerja. Aku seperti berdiri di atas lahan abu-abu tempatku memperoleh penghasilan. Hmm namun, kali ini aku tidak ingin membahas apapun terkecuali Blekiman.

Lalu bagaimana nasib Blekiman selanjutnya?

Apakah Blekiman harus stay tune di kios tersebut sementara aku orangtuanya yang single parent pergi ke sana ke mari mencari 200ribu demi menebus Blekiman? Oke sebenarnya agak hiperbolis sih melongok kalimatku sebelumnya. Blekiman tentu saja bisa diambil, karena alhamdulillah karena sifat over protektif dengan isi dompet (baca: pelit) aku enggan mempersilahkan apapun di dalam Blekiman diganti sebelum persetujuan denganku. Maka sebelum cartridgenya diganti, si service-man menghubungiku, meminta persetujuanku. Tentu saja aku menolak. Meskipun ada uang 200ribu sisa gaji terakhirku, aku tetap merasa pasti Allah masih menyediakan jalan alternatif yang layak buat anak kostan sepertiku.

Ditemani Aa, aku membawa Blekiman ke sebuah tempat yang isinya ikhwan-ikhwan yang terlihat sangat cerdas dan religius. Bukan, Blekiman bukan mau diruqyah atau dibekam di sana. Blekiman mau aku cek lagi. Ternyata kata si mas-mas Ikhwan, Blekiman ga perlu ganti cartridge. Maksudnya ga perlu-perlu banget. Karena kerusakan Blekiman ga segitu parahnya. Nah, sekarang Allah menunjukkan keadilannya. Lihat ini, hey serviceman Sinar L****r. Kata mas-masnya, Blekiman emang bermasalah, tapi bisa diatasi dengan diapet, eh salah maksudnya dengan merubah settingannya setiap kali mau ngeprint. Trus setelah dianalisa kembali, si Blekiman harus bener-bener diperhatiin makannya, minumnya, tidurnya, eh ngga maksudnya mah diperhatiin pemakaiannya. Setiap hari minimal harus dipake ngeprint 1x. Kalo mau ditinggal-tinggal, ya misalnya ditinggal keluar negeri atau luar angkasa gitu si selang infusnya harus dijepit. Hihi dijepit? Lu kira jemuran dijepit -_-

Makasih mas-mas ikhwan J pas aku nanya biaya analisanya si mas-mas malah bilang “terserah tetehnya aja” sambil senyum-senyum malu gitu. Aku bayar 20.000 rupiah pun si mas-masnya keliatan seneng banget “ditampi ya teh” eeeh mas-masnya senyum lagi.

Alhamdulillah wasyukurillah. Satu lagi nikmatNya yang aku terima. Terimakasih juga buat Aa yang ngelarang aku habis-habisan di saat tergoda buat ganti cartridge. Makasih juga buat Supri (motor supra aa) mau anterin aku kesana-kesini bawa-bawa Blekiman J

Dan buat anakku, Blekiman, temani ibu ya, Nak sampai setidaknya nanti ibu selesai skripsi atau sampai ibu mampu mengcovermu di kala kamu sudah tidak bisa menema ibu lagi. Yang jelas, keep running those cartridges!sdadd